Author : Grizhelda
M.T.P
Udara musim
dingin ini memaksa Park Seun Ji merapatkan sweater merah maroonnya itu. Hari
ini ia akan berjalan jalan sejenak melepas penat dari tugas-tugas kuliahnya.
Sedang asyik menikmati pemandangan salju disana sini, ia tak sengaja melihat
seorang pria memakai hoodie berwarna silver, celana Levi’s biru tua, dan sepatu
boot hitam. Sejenak Seun Ji mengamati pria itu, entah mengapa ia tak bisa
berhenti melihat pria itu. Rambut berwarna coklat kemerahan yang diselimuti
topi rusia berwarna coklat dan hitam di bagian dahinya seketika memikat
perhatian Seun Ji. Sepertinya dia sedang
sibuk bercakap-cakap dengan temannya. Baiknya aku menunggu atau pergi saja? Hm,
tidak tidak. Mungkin aku harus bersabar. Aku harus tahu nama pria itu, aku
penasaran sekali dengan sosoknya, batin wanita berambut panjang bergelombang
ini. Ia menunggu sembari memesan kopi hangat di tempat Ahjussi berjualan.
Setelah beberapa saat, teman pria itu pun pergi dan pria itu menghampiri Seun
Ji, ah lebih tepatnya ia membeli kopi hangat Ahjussi, dan ia duduk di sebelah
Seun Ji. Ia mengumpulkan nyali untuk berbicara pada pria itu, dan ia mulai
mengucapkan satu kalimat.
“Hei, sejak tadi
aku melihatmu berbicara dengan temanmu di seberang sana. Aku tak pernah
melihatmu disini sebelumnya, apa kau warga baru?”, tanya Seun Ji basa basi.
“Ah iya, dia
teman kerjaku. Aku sedang membicarakan proyek baru yang akan ku jalankan.
Memang, kau tak pernah melihatku. Aku pindah kemari sejak 3 bulan lalu, dan aku
jarang menginjakkan kaki keluar gerbang rumahku. Sekalipun aku keluar, itupun
aku akan keluar pagi sekali dan kembali malamnya. Aku tak terlalu bisa
bersosialisasi dengan tetangga baru. Dan
baru kali ini aku keluar pagi hari seperti ini, karena temanku yang memintanya.”,
jelasnya panjang lebar.
“Ah begitu, apa
kau alergi dengan cahaya matahari? Maksudku, alergi karena kau mungkin akan
terbakar jika terkena cahaya matahari seperti vampir? Dimana rumahmu? Apakah
dekat dari sini?”
“Tidak tidak,
bukan begitu. Aku memang tidak suka dengan cahaya matahari, apalagi di musim
salju seperti ini. Rasanya aneh di tubuhku. Ya, rumahku hanya 30 langkah dari
kedai kopi ini.”
“Kau benar-benar
menjaga kulitmu, ya. Benarkah? Aku lebih dekat dari itu, hanya selisih 5
langkah saja. Ah, siapa namamu?”, Seun Ji menjulurkan tangannya.
“Hmm, ya ya.
Namaku Minho. Choi Minho. Kau?”, tanya pria itu yang ternyata bernama Minho
seraya menjabat tangan Seun Ji.
“Oh, namaku Seun
Ji. Park Seun Ji. Senang mempunyai tetangga sepertimu. Lain kali mainlah ke
rumahku, Ibuku senang bila ada teman yang berkunjung. Ia akan memasak makanan spesial
untuk temanku. Maka dari itu, mainlah jika kau sempat.”
“Mungkin suatu
hari nanti aku akan berkunjung, terimakasih atas perkenalannya. Aku harus
segera pergi, rupanya tugasku bertambah. Dah!”, ia berlari membawa gelas
plastik berisi kopi sambil melihat ponselnya. Benar-benar pria yang mempunyai
kharisma, yang paling mencolok adalah mata dan bibirnya. Memiliki ciri khas
yang sangat indah. Hah, Seun Ji tak pernah se bahagia ini bertemu dengan pria yang
baru ia kenal. Mungkinkah ia jatuh cinta? Sebaiknya itu jangan terjadi…
```
“Uh, dingin
sekali hari ini. Aku bisa gila kalau udara seperti ini terus menerus.”, gumam
Seun Ji sembari melepas sepatu bootnya di dalam rumahnya. Saat ia memasuki
rumah, ia telah disambut oleh bau Yangnyeom
Tongdak khas buatan Ibunya. Dan ternyata benar, Ibunya sedang menyiapkan makan
malam dengan menu kesukaan Seun Ji.
“Eomma! Kau tahu sekali kalau aku sedang lapar. Diluar
udaranya sangat dingin, hingga perutku ingin merasakan masakan pedas dan
hangat. Ah, Appa dan Ji Hye dimana? Aku tak sabar memasukkan makanan ini
kedalam perutku haha.”, Seun Ji lantas mengambil nasi kedalam mangkuk nasinya.
Lalu, plakk! Tangan Eomma menepuk tangan Seun Ji.
“Aigoo, kau ini rakus sekali. Lihat saja badanmu, seperti
panda China saja! Berdietlah, mana ada lelaki yang mau dengan wanita muda
gendut sepertimu.”, ujar Eomma sambil menata makan malamnya. Tak lama, pintu
rumah terbuka. Dan muncullah Appa dan Ji Hye dengan membawa dua ikan segar di
dalam kantung plastik. Mereka pergi memancing rupanya.
“Ya! Kau lihat ini, ikan segar dan besar yang ku tangkap hari
ini. Besok kau masaklah ikan ini dengan bumbu pedas manis seperti yang kau
masakkan untukku waktu musim gugur kemarin.”
Ji Hye melepas mantelnya lalu mendekati eonnienya yang sejak
tadi menunggunya dan Appa sejak tadi.
“Terserah apa katamu, sekarang ayo kita makan malam. Lihat,
ini makanan kesukaan Seun Ji. Eh, kenapa kau memasang muka seperti itu, Seun
Ji? Gara-gara kau dan Ji Hye terlalu lama diluar, lihatlah anakku merajuk
seperti itu!”, goda Eomma pada Seun Ji
“Eomma, jangan menggodaku. Baiklah, ayo kita makan sekarang.
Lambungku sudah mengecil sepertinya.”
Setelah beberapa menit kemudian, Seun Ji menyudahi makan malamnya
dan beranjak ke kamar tidurnya. Tak lama, ada sebuah pesan masuk di ponselnya.
Seun Ji, kau tak lupa besok
kan? Datanglah lebih awal, mungkin aku akan terlambat sampai 15 menit karena
urusan lain. Bersabarlah! Khamsa chingu.
Begitulah isi pesan Hyu Rin, teman Seun Ji. Seketika ia
menepuk keningnya karena ia hampir saja melupakan hal itu. Ia akan melamar
pekerjaan di sebuah toko buku terkenal di Seoul, dan ia terpaksa harus
meninggalkan keluarganya dan hidup seorang diri disana. Ia membuka laci meja belajarnya
dan mengeluarkan map biru berisi berkas lamaran kerja.
“Hah, bekerja. Setidaknya aku punya uang hasil keringat
sendiri. Semoga saja aku dan Hyu Rin diterima. Hwaiting!”, gumamnya pelan
sambil memegang lamaran kerjanya itu dengan semangat.
“Baiklah, sekarang aku harus pergi tidur dan bangun besok pagi
dengan muka segar. Bukan dengan muka kusut seperti pertama kali aku masuk
kampus dulu. Sepertinya aku melupakan sesuatu, ah tentu saja. Segelas susu
hangat tentunya agar aku mudah tertidur.”. Seun Ji beranjak ke dapur untuk
membuat susu hangat untuk dirinya sendiri, dan tak lama susu itupun jadi.
“Hah, mengapa aku masih memikirkan wajah rupawan laki-laki
tadi ya? Ah, lupakan Seun Ji. Dia tak tertarik padamu, bahkan melirik pun tidak.
Huh, menyebalkan. Mengapa aku memunyai wajah bengkak seperti ini. Ini semua
gara-gara permen kapas yang dibelikan Jung Hyo tahun kemarin saat kami masih
berpacaran. Bagaimana tidak, dia membelikanku 2 karung permen kapas dan
terpaksa ku habiskan semua. Hal bodoh yang paling memalukan walaupun tak ada
yang tahu tentang hal itu. Aku sudah mengelilingi seluruh desaku untuk
mengecilkan badan, tapi hasilnya nol besar. Mengapa? Karena setelahnya aku
memakan banyak cemilan dan meminum es. Semakin besar saja. Huh, wanita panda.”,
gumam Seun Ji sambil berkaca dan menepuk-nepuk pipinya di meja rias kamarnya.
“Baiklah, sepertinya... hoaaammm, aku mulai mengantuk. Aku
harus segera tidur.”
...
Kriiiingggg! Jam weker Seun Ji berbunyi pukul 04.30 am. Memang
masih terlalu pagi, tapi Seun Ji harus menyiapkan segala sesuatu untuk dibawa
ke Seoul dan segera merapikan dirinya. Setelah sarapan pagi dan memakai pakaian
casual dengan rambut ponytail itu, Seun Ji siap untuk berangkat ke Seoul,
tempat yang ia impikan untuk hidup di dalamnya.
“Eomma, bulan pertama nanti kau harus mengirimkan uang
untukku. Apa kau mau melihat anakmu dengan wajah tak terawat dan badan kering
seperti tulang belulang di ramainya Seoul? Tak lama aku akan di awetkan lalu di
museumkan oleh pemerintah setempat jika tahu kondisiku seperti itu. Tapi aku
berjanji padamu, aku akan mencari pekerjaan sampingan disana untuk mengganti
uangmu dan menghidupi diriku sendiri disana. Kau harus berdo’a setiap malam
untuk anakmu ini, aku janji tak akan mengecewakan Eomma, Appa, dan Yeodongsaeng
yang selama ini mendukung keputusanku untuk melanjutkan pendidikanku di
Seoul.”, ujar Seun Ji dengan bersungguh-sungguh kepada Eomma. Wanita paruh baya
ini hanya bisa memandang bangga pada anak perempuannya ini, memiliki semangat
yang besar untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. “Eomma, aku akan berangkat.
Tolong sampaikan salam perpisahanku pada Appa dan Ji Hye, aku akan merindukan
kalian.”, Seun Ji melangkah ke kamarnya untuk mengambil koper dan ranselnya
lalu memeluk Eommanya untuk terakhir kalinya, lalu ia berangkat.
“Ah aku haus sekali, tak adakah orang menjual minuman di
kereta ini?”, gumamku dengan menoleh kanan kiri. Aku beranjak dari tempat
dudukku dan mencari barangkali ada orang menjual minuman dingin. Seseorang
dengan rambut hitam ikal berkacamata hitam dan memikul ransel di punggungnya
datang dari arah berlawanan dengan Seun Ji. Ia terlihat terburu-buru tak
melihat orang di depannya, sehingga orang itu menabrak tubuh Seun Ji. Wanita
bermata Eye Smile ini meringis kesakitan dan berkata dengan membentak orang itu
“Hei! Lihat orang di depanmu! Omo, bodoh sekali orang ini.”. Lalu orang itu
meminta maaf dengan membungkukkan badannya lalu melepas kacamata hitamnya. Oh,
ia seorang pria. Pantas saja lengannya terasa begitu keras di bahu Seun Ji.
Setelah meminta maaf dengan singkat, pria itu melanjutkan mencari bangku untuk
ia duduk. Benar-benar orang ini. Tak lama Seun Ji menemukan bibi yang menjual jus
lemon dingin dalam botol ukuran sedang. Segera wanita itu membelinya dan
menambah makanan ringan untuknya.
Ia kembali ke tempat duduknya semula. Tiba-tiba ia teringat
oleh Choi Minho, pria berwajah manis yang sering ia temui saat pagi hari di
kedai kopi Ahjussi. Ah, aku akan jarang sekali bertemu orang berkharisma itu,
pikirnya. Semoga saja ia menyadari kepergianku dan menyusulku ke Seoul, lalu ia
akan menyatakan perasaannya padaku. Oh, sungguh tidak mungkin bagiku, gumam
Seun Ji lalu meminum jus lemonnya. Sepanjang perjalanan ke Seoul ia memakakan
makanan ringan yang ia beli dengan jus lemon, dan tak lama ia tertidur.
“Nona, hei bangunlah. Kita sudah berhenti di stasiun Seoul.”,
terdengar petugas kereta api membangunkan Seun Ji. Lalu ia terbangun dan
meregangkan badannya sebentar, ia terkejut karena semua orang di kereta sudah
tak ada. Lalu ia melihat kearah luar jendela kereta.
“Oh, maaf, Ahjussi.”, ujar Seun Ji dengan nada
terburu-buru.”Bagaimana aku bisa sebodoh ini, ah Park Seun Ji.”, gumamnya
dengan menjinjing tas ransel dan kopernya lalu beranjak keluar dari kereta api.
```
“Huahh, sekarang apa yang harus ku lakukan? Aku tak mengenal
seorangpun di kota ini. Bahkan tukang kebun itu pun aku tak mengenalnya.”, ia
melihat ke tukang kebun yang sedang berkebun di taman kota. ”Bagaimana bisa Hyu
Rin membiarkanku menjadi gelandangan sendirian disini? Ah jinjja.”, Seun Ji
terus mengomel dan berjalan entah kemana tak tahu tujuan. Karena tak melihat
jalan, ia menyenggol kopi seseorang di sampingnya.
“Ya! Kau bodoh sekali, lihat kaus kesayanganku ini!”, bentak
orang itu. Sontak aku terkejut karena aku tak memperhatikan jalanku.
“Oh, maaf maaf. Ini salahku, maafkan aku.”, kataku meminta
maaf. Setelah meminta maaf, aku melihat wajah orang itu sekilas. Ah, orang ini!
Yang menabrakku di kereta tadi.”Hei, bukankah kau yang menabrakku di kereta api
tadi, ha? Oh, baiklah. Sekarang kau dan aku impas.”
“Terserah kau saja, gadis ceroboh.”, ia melengos dan berlalu
dengan sedikit terburu-buru.
“Hahhh. Sombong sekali dia! Awas saja, aku akan memberimu
pelajaran!”, dan sedetik kemudian aku berpikir untuk mengikuti laki-laki itu.
Mungkin saja ia akan membantuku mencarikan tempat kos di sini.”Tapi, apa tidak
apa-apa aku mengikutinya? Dia terlihat tidak begitu bersahabat, lihat saja
matanya yang melihat dengan tajam, angkuh sekali. Ah, biar sajalah! Aku hanya
meminta untuk mencarikan tempat kos untuk aku dan Hyu Rin, dan setelah itu dia
boleh pergi sesukanya.”. Ia lalu berlari kearah laki-laki berkacamata hitam itu
dan mendekatinya. Lalu laki-laki itu berhenti dan melepas kacamatanya.
“Sekarang apa lagi, huh?”, tanyanya dengan tidak sabaran.
“Eumm, maukah kau membantuku? Ah, soal tadi aku minta maaf
dengan sangat telah mengotori kausmu yang indah.”
“Baiklah, tidak usah berbasa basi. Apa yang kau inginkan? Apa
kau seorang gadis baik-baik? Atau kau adalah salah satu dari agen rahasia
mafia?”
“Owowow, kau begitu sensitif kepadaku. Ya, aku adalah
mahasiswa yang diterima di Kriyan University dengan mengajukan beasiswa dan
diterima. Sebenarnya masih ada satu lagi temanku, Hyu Rin. Tapi ia akan
menyusul, mungkin besok atau nanti sore-“, cerita Seun Ji pada laki-laki itu.
“Lalu, apa pengaruhnya denganku?”
“Ah, begini, Tuan! Bisakah aku meminta bantuan padamu untuk
mencarikan tempat kos untuk kami berdua? Hanya satu kamar saja, terserah kau
mau mencarikan dimana aku akan tinggal, setelah itu kau boleh pergi tanpa takut
akan ku ganggu.”
“Kau kira aku makelar? Kau cari saja sendiri! Haish, jinjja.”,
pemuda itu melengos sembari meninggalkan wanita dengan rambut bergelombang.
“Ya! Tunggu!”, teriak Seun Ji mengejar pemuda itu. “Tolonglah
aku, disini tak ada yang ku kenal. Aku benar-benar berharap padamu, hanya kau
yang bisa ku andalkan sekarang. Ayolah.”
“Haih kau ini, baiklah baik aku akan membantumu. Tapi kau tak
perlu mengomel karena tempat yang akan ku carikan untukmu. Namaku Dong Hae,
jadi kau harus memanggil dengan namaku. Bukan berteriak “Ya” atau yang
lainnya.”, jelasnya lalu berjalan tanpa memedulikanku. Aku diam terpaku sambil
memandang kearahnya. Huh, dia pikir dia siapa. Berani-beraninya berkata kasar
padaku, gumamku. “Hei! Kau akan terus disana sampai musim semi? Kau mau pergi
atau tidak, gadis desa?!”, teriaknya sedikit membentak.
“Baiklah baik, aku pergi. Dan jangan memanggilku gadis desa!
Namaku Seun Ji, Park Seun Ji!”, kataku dengan berjalan dan mendenguskan
napasku.
Kami menyusuri jalanan Seoul untuk menemukan tempat yang tepat
untuk aku tinggal bersama Hyu Rin. Sepertinya harga sewa di daerah ini agak
mahal, karena dari luar saja sudah terlihat terlalu besar untuk 2 orang saja.
Kami terus menyusuri setiap gang di kota ini, dan akhirnya kami menemukan
sebuah tempat yang berada di dekat Cafe.
Dong Hae menoleh kearahku dan berkata, “Bagaimana? Apa belum
cocok untukmu?”
“Sebaiknya kita melihat-lihat dulu ke dalam. Kalau semuanya
cocok, maka aku akan menyewanya.”. lalu kami memencet bel rumah yang bagian
depannya memiliki banyak bunga hias. Seketika pemilik rumah membukakan pintu
pagar dan mempersilahkan kami masuk. Setelah kami mengutarakan maksud kami
datang ke rumahnya, pemilik rumah pun membawa kami keluar rumah dan menaiki
tangga yang agak berjauhan dengan rumah tapi masih satu halaman dengan rumah
pemilik itu. Kamar-kamar yang disewakan berada di lantai atas. Mungkin ada
sekitar 7 kamar, dan yang sudah berpenghuni ada 5 kamar. Jadi tinggal 2 kamar
saja. Aku coba memasuki kamar nomor 4, yang diapit oleh kamar nomor 2 dan 5.
Kamar ini terlalu pengap untukku. Baru masuk saja aku sudah mengernyitkan
hidungku.
“Kamar ini sudah tidak dihuni sekitar 2 tahun. Penghuni
terakhirnya kabur saat baru menghuni 1 bulan.”, ujar singkat pemilik kost yang
bernama Ahjumma Lee ini.
“Oh, Ahjumma! Apa yang ada di dinding itu? Nampak seperti
tulisan tapi aku tak bisa membacanya.”
“Itu adalah catatan hutang penghuni terakhir kamar ini. Dia
memang sedikit punya gangguan jiwa, dan sering kali ia mencoret-coret dinding
kamarnya dengan catatan-catatan hutangnya yang entah dari kapan ia
menanggungnya. Ah baiklah, kupikir kau tidak akan merasa nyaman disini. Aku sedang
mengumpulkan uang untuk merenovasi kamar ini, dan mengecat dindingnya dengan
warna lebih cerah. Kita ke kamar berikutnya saja.”. lalu kami berpindah ke
kamar nomor 6, kamar paling pojok berdekatan dengan jendela yang bila dibuka
langsung bisa ke balkon. Sungguh, tempat kost ini sederhana namun menakjubkan.
Aku memasuki kamar nomor 6 ini, dan pertama kali yang ku lihat
adalah cat dinding yang dominan berwarna biru dan hijau ini membuat suasana
sejuk dan tenang. Lalu pemandangan jendela yang menghadap langsung ke taman
rumah Ahjumma Lee. Ukuran kamar ini sangat pas untukku dan Hyu Rin, dan tempat
tidurnya saja sangat nyaman, pikirku. Tempat tidurnya ada dua, satu di dekat
jendela dan yang lainnya dekat dengan lemari baju. Tak perlu berpikir lama,
akupun mengatakan untuk menyewa kamar ini hari ini juga. Setelah membayar uang
bulan pertama, akupun langsung menata koper dan baju-bajuku ke lemari. Ditemani
oleh Dong Hae yang membantu menata tempat tidur dan perabot di kamarku.
“Huhh, akhirnya sudah selesai. Baiklah, pria kereta api. Kau
boleh pergi sekarang, dan anggap saja masalah kita sudah rampung, kita impas,
oke? Dan kau mencarikan tempat kost ini adalah bonus darimu.”, kataku sembari
meminum lemon yang kubeli dari pemilik kost yang mempunyai toko kelontong ini. Entah
kenapa hari ini aku minum banyak sekali lemon, dan lambungku sedikit perih
sekarang karena terlalu banyak minum minuman asam.
“Iya terserah kau, aku juga sudah lelah dengan membantumu
mengatur ini semua. Kau tahu, tanganku serasa tidak mempunyai tulang
sebongkahpun. Lemas sekali. Aku akan pergi, tetapi kau harus meninggalkan nomor
teleponmu padaku.”
“Kau gila?! Untuk apa aku memberikan nomor teleponku padamu.
Kau ini mengerikan sekali. Jangan-jangan selama ini kau adalah penjual organ
dalam yang sedang mencari korban untuk kau jual kepada pelangganmu. Ah kau
menyebalkan sekali!”, aku mendengus lalu melangkah menuju jendela dan membuang
muka pada Dong Hae.
“Omong kosong apa yang kau katakan, bodoh. Aku meminta nomor
telepon hanya untuk berjaga-jaga saja kalau kau termasuk Daftar Pencarian Orang
polisi dan dengan gampang aku bisa menyerahkanmu ke polisi.”, katanya dengan
memain-mainkan sedotan lemon yang ia minum.
“Aishh! Baiklah baik, akan kucatatkan nomorku untukmu... ini
nomor teleponku, dan jangan pernah sekali-kali meneror atau apapun itu
bentuknya. Atau aku yang akan melaporkanmu ke polisi!”, ujarku dengan nada
kesal.
“Tenanglah, aku adalah pria paling ramah dan baik di daerah
ini. Rumahku juga tak jauh dari sini. Mungkin hanya 50 meter jaraknya. Mungkin
aku akan sering menengokmu kemari untuk memata-mataimu. Hahaha. Baiklah,
sepertinya sudah semakin siang. Aku harus pergi. Dah!”, ia seenaknya pergi
tanpa menjabat tangan seperti yang orang-orang lakukan jika pertama kali bertemu.
Benar-benar anak itu tidak punya sopan santun.
Huaaahhh! Aku menguap sangat lebar dan mataku basah akan
airmata yang keluar saat aku menguap. Aku melihat jam tangan, sudah jam 2
siang. Ya ampun, lama sekali aku menata ini semua. Sambil menunggu Hyu Rin, aku
merebahkan badanku ke tempat tidur. Punggungku rasanya sangat nyaman setelah
menghempaskan diri ke kasur ini. Sekejap kemudian, keheningan tercipta di
ruangan ini. Lalu, aku tertidur...
Samar-samar aku mendengar suara televisi menyala dan suara
sumpit dan mangkuk beradu. Pasti Eomma, pikirku. Lalu aku melanjutkan tidurku. Semenit
kemudia, aku sadar bahwa televisi di kamarku masih rusak, sontak aku menendang
selimutku dan aku menemukan wanita berambut sebahu dikuncir cepol sedang duduk
dengan kedua kaki ditekuk menyentuh dada, menghadap televisi yang menyala
dengan menyantap Jajangmyun. Oh ya ampun, aku lupa. Ini bukan lagi dirumah, aku
sudah berada di Seoul.
“Hyu Rin?”, aku mengernyitkan mataku ke arah wanita itu.
“Hai kau tukang tidur, kemana saja kau pemalas. Aku mencari-cari
dimana tempat kau berada, untung saja GPS ponselmu menyala jadi aku dengan
mudah bisa menemukanmu.”, ia bercerita dengan tatapan masih ke arah televisi
dan keadaan mulut masih penuh dengan Jajangmyun.
“Oh mianhae chingu, aku sangat kelelahan
sejak pertama sampai di kota ini. Ditambah lagi aku bertemu dengan lelaki tak
tahu sopan santun yang menabrakku hingga lengan kiriku memar. Tapi dia juga
yang mencarikan tempat ini untukku, maksudku untuk kita berdua, dan dia juga
membantu merapikan barang-barangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar